Meriam Muhammad Al Fatih (Mehmed II Canon)
Strategi dalam sebuah peperangan adalah keniscayaan. Bukan sekedar untuk meraih kemenangan dengan mengalahkan lawan, tapi yang lebih penting adalah strategi itu tetap menjaga adab dan rasa kemanusiaan. Maka sejak awal masa pertumbuhananya, Islam telah mengajarkan pentingnya adab dalam sebuah peperangan.
Strategi itu berkembang mengikuti laju pasukan Muslim menaklukan daerah-daerah Utara dan Selatan, Timur dan Barat. Strategi yang bertumbuh dengan semangat tauhid sehingga melumpuhkan pasukan yang jumlahnya lebih besar, persenjataan lebih banyak dan pengalaman lebih lama, dua super power saat itu, Romawi dan Persia.
Muhammad Al-Fatih adalah salah seorangnya. Panglima perang dengan strategi luar biasa. Dan ini menjadi kunci kemenangan dalam menaklukan KOnstantinopel, yakni merancang startegi militer yang tidak biasa.
Pertama, membuat meriam dengan ukuran lebih besar. Teknologi persenjataan saat itu hanya mampu membuat merim dengan ukuran kecil. Ukuran seperti itu selain daya jangkaunya terbatas, juga tidak mampu menghancurkan tembok KOnstantinopel yang terkenal tebal dan kokoh. Maka dibutuhkan meriam dengan size jauh lebih besar. Dan Al-Fatih mendobrak keterbatasan teknologi dengan ide cerdasnya.
Dimintalah Orban, seorang seniman senjata dari Hungaria, membuat 69 meriam. Semua berukuran besar, rata-rata panjangnya 4,2 meter, dan yang terbesar sebuah meriam raksasa : panjang 8,2 meter, diameter lubang 70 cm, berat 18 ton, Berat peluru 600-700 kg, namanya ; Muhammed's Great Gun.
Kedua, membuat menara kayu. Mari kita dengan komentar seseorang yang melihat sendiri menara itu dibuat. “Menara ini dibuat dengan bentuk sedemikian rupa sehingga seorangpun tidak ada yang mempercayai bahwa bangunan semacam itu bisa dibuat dan tidak pernah pekerjaan seperti ini dilakukan sebelumnya oleh kaum Muslim, tidak dengan konstruksi sehebat ini. Sebenarnya aku bisa menjamin kepadamu, seandainya seluruh kaum kristen berusaha untuk membuat menara sebesar ini, mereka tidak akan bisa melakukannya meski dalam waktu satu bulan, tapi kaum Muslim melakukannya hanya dalam waktu semalam. Menara yang mengagumkan ini berjarak sepuluh langkah dari kami, dan di tembok kami berkumpul pasukan bersenjata yang terpukau dengan menara ini. Walau aku mengatakan menara ini dibuat dalam waktu semalam, sebenarnya menara itu dibuat hanya dalam waktu kurang dari beberapa jam saja. Mereka membuatnya dengan kecepatan tinggi sehingga pasukan pengawas ditembok tidak menyadari apa yang tengah dibuat pasukan Muslim. Sampai pagi hari ketika mereka melihatnya dan mereka sangat takut dengan apa yang mereka lihat.” (Barbaro, Sejarawan Byzantium)
Ketiga, memindahkan 72 kapal dari Galata ke teluk Tanduk Emas. Startegi inilah yang membuat Muhammad Al-Fatih mencuat di antara yang lain. Secara jujur banyak pihak yang mengakui kejeniusan Al-Fatih melakukan hal itu.
“Kami tidak pernah melihat dan tidak pernah mendengar sebelumnya, sesuatu yang sangat luar biasa seperti ini, Muhammad Al-Fatih telah merubah bumi menjadi lautan dan dia menyeberangkan kapal-kapalnya di puncak-puncak gunung sebagai pengganti gelombang-gelombang lautan. Sungguh kehebatannya jauh melebihi apa yang pernah dilakukan oleh Alexander The Great.” (Sejarawan Byzantium)
“Sebuah pemandangan yang sangat luarbiasa untuk disaksikan. Kapal-kapal itu ditarik melalui jalan darat, seolah-olah sedang berlayar di lautan, lengkap dengan awak, layar dan seluruh perlengkapannya.” (Kritovoulos, sejarawan Yunani)
“Itu adalah sebuah pencapaian yang menakjubkan dan strategi bermutu tinggi dari taktik pertempuran laut.” (Melissenos, Yunani)
Keempat, menggali terowongan bawah tanah. Karena sedemikian kuat dan tebalnya tembok benteng, sehingga upaya lain yang dilakukan adalah menggali lobang tembus dari bawah benteng. Pekerjaan itu sendiri menunjukan kehebatan dan keteguhan tentara Al-Fatih, karena dalam waktu cepat mampu membuat beberapa terowongan bawah tanah dan menembus melewati benteng ke tengah kota. Upaya ini meski mengalami kegagalan, tetapi telah cukup banyak menelan korban dari pihak lawan.
Kelima, memanfaatkan fenomena alam. Ilmu pengetahuan berkembang pesat pada masa Daulah Turki Utsmani, dan hal itu memungkinkan pihak Utsmani mengetahui akan terjadinya gerhana Bulan. Maka serangan ke KOnstantinopel dipilih waktu yang berdekatan dengan waktu akan terjadinya gerhana Bulan, dimana penduduk KOnstantiopel masih melihatnya tidak dari sisi ilmu pengetahuan tapi dari sisi takhayul dan khurafat.
“Pada satu malam, 22 Mei 1453, saat pengepungan Konstantinopel berlangsung 47 hari, dan kedua pihak mengalami keletihan luar biasa, terlihat fenomena alam berikut : satu jam setelah matahari terbenam bulan mulai memanjat langit yang seharusnya berbentuk purnama. Namun ia tampak seperti bulan sabit berusia tiga hari, saat itu langit jernih bagai kristal. Bulan sabit itu bertahan selama 4 jam. Dan perlahan bertambah hingga penuh menjadi Purnama.” (Barbaro, Sejarawan Byzantium)
Saat itu, masyakat Eropa masih dikuasai takhayul dan khurafat. Mereka tidak bisa menjelaskan fenomena alam dengan pendekatan ilmu pengetahuan, kecuali meyakini mitos sebagai ramalan buruk akan jatuhnya Konstantinopel dan menangnya Turki Utsmani. Maka lengkaplah penyakit pemikiran masyarakat Byzantium. Benarlah seperti kata bijak, bahwa, ketakutan adalah akumulasi dari ketidaktahuan, dan takhayul adalah efek serius dari kemiskinan ilmu.
Kondisi itu hanya menyempurnakan semakin melemahnya pertahanan Konstantinopel. Sehingga Muhammad Al-Fatih memutuskan melakukan serangan umum pada tanggal 29 Mei 1453. Satu hari sebelum penyerangan, 28 Mei pada hari Senin, seluruh tentara diintruksikan beristirahat sambil melakukan ibadah untuk taqorub ilallah, seperti saum sunnah, tahajud, membaca Al-Quran dan berdoa, memohon pertolongan dan kemenangan dari Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar