Awal pembuatan kalender bagi ummat Islam dimulai pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. Saat itu, daerah kekuasaan kaum Muslimin sudah cukup luas. Maka Umar, selaku pemimpin berniat untuk menyeragamkan pengaturan hal-hal yang dianggap remeh sebelumnya Umar, adalah sosok yang menetapkan ukuran jarak,
1 km sama dengan 1000 m, 1 m adalah 100 cm, dan seterusnya. Mungkin hal ini terlihat sepele, namun sangat memudahkan urusan kaum Muslimin hingga sekarang. Lihat saja cara perhitungan jarak yang dilakukan orang Eropa, mereka menggunakan satuan yard, yang sama dengan 91 cm. Lalu 1 mil Inggris, yakni sekitar 1,6 km. Ini membuktikan kecerdasan ijtihad Umar Ibnul Khattab selaku pemimpin pada saat itu, karena hasil ijtihad beliau lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat dunia hingga saat ini. Hal yang sama juga berlaku dalam hal kalender. Jika Julius Caesar, kaisar Romawi, menggunakan tanggal kelahirannya sebagai patokan awal tahun, maka Umar memilih peristiwa yang beliau anggap penting untuk menandai awal tahun bagi ummat Islam. Bukannya menggunakan peristiwa kelahiran Rasulullah SAW sebagai patokan, ataupun peristiwa Fathu Makkah, tetapi Umar justru memilih peristiwa Hijrah ke Yatsrib sebagai patokan kalender kaum Muslimin.
Tentunya, Umar Ibnul Khattab ra, yang dikenal cerdas dan punya pemahaman yang mendalam terhadap Islam tidak asal pilih dengan menetapkan peristiwa Hijrah sebagai patokan kalender kaum Muslimin. Pastinya ada maksud dan tujuan dalam ijtihad beliau. Mungkin kita perlu menelaah lebih mendalam tentang peristiwa Hijrah ini untuk dapat memahaminya.
Hijrah adalah perintah Allah SWT kepada kaum Muslimin yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang memerintahkan kita untuk berhijrah. Betapa istimewanya hijrah di hadapan Allah dapat kita simpulkan dari sebagian besar ayat-ayat tentang hijrah, yang mana kata hijrah senantiasa berdampingan dengan kata iman dan jihad Ingat, sesungguhnya iman (Tauhid) adalah pondasi utama dari Diinul Islam, dan Jihad adalah puncaknya. Dalam hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kedudukan hijrah adalah sama pentingnya dengan iman dan jihad. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat ayat berikut ini.
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.(QS At Taubah : 20)
Secara umum, hijrah berarti “meninggalkan” atau “pergi”. Jadi, selain dapat diartikan sebagai “sebuah perjalanan meninggalkan negeri kufur yang tidak kondusif bagi kaum Muslimin untuk menuju negeri Islam atau negeri Hanif yang kondusif bagi kaum Muslimin”, hijrah juga dapat diartikan sebagai bentuk keberpalingan kita dari hal-hal yang dapat mendatangkan murka Allah SWT kepada kita. Bahkan, sebagian Ulama juga menafsirkan bahwa taubat adalah salah satu bentuk hijrah.
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS An Nisaa : 100)
dan perbuatan dosa tinggalkanlah, (QS Al Mudatstsir : 5)
Ayat yang pertama menunjukkan janji Allah kepada orang-orang yang rela melakukan hijrah untuk mencari ridho Allah SWT, bahkan bagi orang-orang yang mendapati kematian sebelum sampai pada tempat tujuannya, Allah SWT menyatakan telah menghitung pahala amal hijrahnya. Hal ini sama dengan keutamaan orang-orang yang berjihad, yang mana apabila mereka menang, mereka akan mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT, dan apabila mereka gugur, mereka terhitung sebagai syuhada di sisi Allah SWT. Sedangkan ayat yang kedua menunjukkan makna hijrah dari sudut pandang yang lebih mendasar, yakni pedoman hidup. Untuk diketahui, ayat kedua ini diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW lebih dahulu dibandingkan ayat yang pertama. Maka, “hijrah hati” atau “hijrah ideologi”, kalau saya boleh menyebutnya demikian, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu dibandingkan dengan “hijrah tempat”.
Makna lain dari peristiwa Hijrah ke Yatsrib yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW, adalah pembuktian kepada kaum Muslimin, bahwa Allah SWT turut menyeleksi para pejuang Islam yang mendampingi Rasulullah SAW untuk menegakkan Diin Tauhid ini. Kita lihat, ada sebagian besar kaum Muslimin yang enggan melakukan kewajiban hijrah ini karena lebih mementingkan cinta mereka terhadap perhiasan duniawi dibandingkan melaksanakan perintah Allah SWT. Mereka lebih memilih harta, keluarga, dan bahkan lingkungan yang kufur kepada Allah SWT, dibandingkan dengan melaksanakan perintah mulia ini. Dan bukankah kaum seperti itu masih ada hingga sekarang?
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al Baqarah : 257)
Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasiq. (QS At Taubah : 24)
Apabila kita telah cukup teliti merenungi makna dari Ayat-ayat Al Qur’an di atas, maka sebenarnya telah sangat jelas alasan Umar Ibnul Khattab memilih peristiwa Hijrah ke Yatsrib sebagai patokan bagi kalender Islam. Karena Hijrah, yang merupakan satu rangkaian aktifitas dengan Iman dan Jihad, adalah sebuah bentuk nyata dari loyalitas seorang hamba kepada Allah SWT. Hijrah juga menunjukkan bentuk prioritas seorang Muslim dalam setiap hela nafas kehidupannya di dunia yang fana ini. Maka, jelas hanya orang-orang yang bodoh atau yang dangkal ilmunya sajalah yang menolak, enggan, atau bahkan membid’ahkan kewajiban Hijrah ini. Rasulullah SAW pernah bersabda “Diwajibkan Hijrah selama diterimanya Taubat, dan Taubat masih diterima sebelum matahari terbit dari barat”. Ingatlah, bahwa hijrah adalah kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam hal ini, timbul pertanyaan yang harus kita jawab. Sudahkan kita menghijrahkan hati kita untuk lebih cenderung kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, dibandingkan dengan hal lainnya? Sudahkah kita menghijrahkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan Allah dan Rasul-Nya dibandingkan dengan kepentingan diri kita yang bersifat pribadi?
Maka, yang manakah yang harus kita pilih?
Apa yang harus kita tinggalkan?
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.(QS Al Ahzab : 36)
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar